SEJARAH PANAMBANGAN DARI MASA KE MASA
Riwayat Desa Panambangan terdiri dari asal-usul dan cerita atau legenda diantaranya cerita sebelum dijadikan sebuah desa tak bisa dilepaskan dari Sejarah Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Kasultanan Cirebon.
Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI. Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya. Beliau adalah putra Prabu Anggalarang dari wangsa Galuh yang berkuasa di Surawisesa (keraton galuh) putra Prabu Mundingkawati, putra Prabu Banyakwangi, putra Prabu Banyaklarang, putra Prabu Susuktunggal, putra Prabu Wastukancana, putra Prabu Ciungwanara, dan Ciungwanara adalah putra Maharaja Galuh Pakuan bernama Maharaja Adimulya.
Pada masa mudanya, ia bernama Raden Manah Rarasa (Pamanah Rasa) dan dipelihara oleh uwaknya, Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru labuhan yang menguasai pelabuhan Muara Jati. Prabu Siliwangi memperistri puteri Ki Gedeng Sindangkasih bernama Nyai Ambetkasih. Setelah Ki Gedeng Sindangkasih meninggal, kedudukannya sebagai Jurulabuhan digantikan oleh Ki Gedeng Tapa yang bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati. Ia berkuasa di sepanjang pantai Cirebon. Ki Gedeng Tapa adalah salah seorang putra Ki Gedeng Kasmaya, penguasa di Cirebon Girang . Adik Ki Gedeng Kasmaya, yaitu Ki Gedeng Surawijaya Sakti, semasa hidupnya menjadi raja Singapura. Ia wafat tidak berputra sehingga kedudukannya digantikan oleh keponakannya, yaitu Ki Gedeng Tapa. Kakak perempuan Ki Gedeng Tapa ialah Nyai Rara Ruda yang tinggal di Lemah Putih dan bersuamikan Ki Dampu Awang, saudagar kaya dari Cempa. Dari perkawinannya itu, Nyai Rara Ruda mempunyai seorang putri bernama Nyai Aciputih yang diperistri oleh Prabu Siliwangi dan melahirkan seorang putri bernama Nyai Lara Badaya. Nyai Lara Badaya dibawa kakeknya ke Cempa. Disana, ia berguru agama Islam kepada Maolana Ibrahim Akbar. Maolana Ibrahim Akbar mempunyai dua orang putra: Ali Musada dan Ali Rakhmatullah. Ali Musada berputra Maolana Ishak yang beristri putri Blambangan dan mempunyai anak bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Susuhunan Giri. Sementara itu, Ali Rakhmatullah tinggal di Gresik dan bergelar Susuhunan Ampel Denta. Ia adalah pemimpin para wali di Pulau Jawa dan mempunyai dua orang putra bernama Makdum Ibrahim yang disebut Susuhunan Bonang dan Maseh Munat yang disebut Susuhunan Drajat.
Cerita kembali kepada Prabu Siliwangi. Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dan dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Mas Rara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Pangeran Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Setelah ibunya wafat, ketiganya mendapat perlakuan yang buruk dari kalangan istana. Pangeran Walangsungsang akhirnya meninggalkan keraton menuju ke arah timur dan tiba di pondok Ki Gedeng Danuwarsih, seorang pendeta Budhaparwa (Siwa-Budha). Setelah beberapa waktu tinggal disitu, ia memperistri putri Ki Gedeng Danuwarsi bernama Nyai Endang Geulis. Nyai Lara Santang yang sedang menyusul kakaknya tiba di tempat Ki Gedeng Danuwarsih. Ki Gedeng Danuwarsih adalah salah seorang putra Ki Gedeng Danusenta, seorang pendeta Budhaprawa dari Gunung Diyeng yang telah lama meninggal di keraton Galuh Pakuan. Adapun adik Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Ki Danusela tinggal di Cirebon Girang dan beristrikan Nyai Arumsari, putri Ki Gedeng Kasmaya.
Menurut naskah Babad Tanah Sunda dan pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus takhta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyai Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (Prabu Siliwangi).
Adapula tokoh lain yang diceritakan yaitu seorang pelaut dari Negeri China bernama Laksamana Cheng Ho. Cheng Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng Ho kemudian memberikan cenderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi (piring ini sekarang tersimpan di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan Cirebon). Cheng Ho dan anak buahnya kemudian berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu pembuatan keramik, penangkapan ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping (Panglima angkatan bersenjata pada armada Cheng Ho) kemudian menginisiasi pendirian sebuah mercusuar (bahasa Cirebon: Prasada Tunggang Prawata) untuk pelabuhan Muara Jati pembangunannya kemudian mengambil tempat di bukit Amparan Jati.
Pemukiman warga muslim Tionghoa pun kemudian dibangun di sekitar prasada tunggang prawata bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah Sembung, Sarindil dan Talang lengkap dengan masjidnya, pemukiman di Sarindil ditugaskan untuk menyediakan kayu jati guna perbaikan kapal-kapal, pemukiman di Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung ditugaskan memelihara mercusuar, ketiga pemukiman Tionghoa tersebut secara bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal masjid di wilayah Talang sekarang telah berubah fungsinya menjadi sebuah klenteng.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Pangeran Walangsungsang atau kemudian dikenal sebagai Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putra pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertama bernama Nyai Mas Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa).
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putra mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 15) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.[
Alkisah pada tahun 1442 M Pangeran Walangsungsang dan di susul oleh adiknya Nyai Mas Rara Santang meninggalkan keraton Prabu Siliwangi pergi mengembara karena tidak setuju dengan agama ayahnya (Prabu Siliwangi). Setelah Pangeran Walang Sungsang dan Nyai Mas Rara Santang pergi dari keraton tanpa pamit Maha Prabu Siliwangi memerintahkan bala tentaranya untuk mencari kedua putra-putrinya tersebut. Diantara beberapa pasukannya yaitu Patih Singa Barong dan Bupati Sarongge yang mana dalam pencarian sampailah disebuah daerah yang kemudian hari dikenal dengan Desa Panambangan. Patih Singa Barong yang mana adalah leluhur dari Desa Panambangan ini ngageugeuh (menetap) di Hulu Dayeuh atau yang sekarang berada disebelah barat Balai Desa Panambangan tepatnya di Blok Cantilan Balong Desa Panambangan. Kemudian tokoh lainnya yaitu Bupati Sarongge di Pasir (lamping) Sarongge, yaitu sebuah wilayah yang merupakan batas antara Desa Panambangan dengan Desa Ciawi Gajah. Selain dari kedua tokoh tersebut tadi ada juga beberapa prajurit lainnya yang mana juga menjadi leluhur dari Desa Panambangan yaitu Nyai Ratu Mangsi yang petilasannya terletak di Sumur Samoja Panambangan tepatnya disebelah selatan bendungan Cihaul Desa Panambangan. Selanjutnya ada Raden Talangsi berada di Birit Dayeuh yaitu disekitar wilayah Blok Cadas Beulah Desa Panambangan. Kemudian ada Raden Jayalana, Buyut Gelar, Patih Raja Gempal, dan Patih Patra Pinggan yang berada di Puseur Dayeuh atau disekitaran alun-alun Desa Panambangan sekarang.
Pada suatu waktu Pangeran Walangsungsang dan Nyai Mas Rara Santang meneruskan perjalanannya di tanah Jawa ± tahun 1442 M, di perjalanannya Pangeran Walangsungsang bertemu dengan putri yang cantik dan simpatik, dialah Nyai Endang Geulis putri ki Gedeng Danu Warsih yang mana salah satu pertapaannya kini terletak di Desa Panambangan yaitu Sumur Wasiat tepatnya di Blok Wasiat, disana terdapat sebuah pohon yang sangat besar dan juga sebuah sumur yang airnya sangat jernih tanpa mengalami kekeringan sekalipun dan juga sering di gunakan untuk kepentingan tamu yang masuk ke Desa Panambangan yang konon ketika warga diluar Desa Panambangan meminum airnya akan menjadi betah atau kerasan tinggal di Desa Panambangan. Dan tempat tersebut menurut sejarah juga sebagai tempat bersemedi atau tempat menyepi dari Presiden RI pertama yaitu Ir. Soekarno.
Gambar 1.1 Sumur Wasiat
Kemudian pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih. Kemudian mereka bertiga berangkat menuju kearah barat dan setiap petapaan di singgahinya diantaranya singgah di petapaan Gunung Kembang di daerah Tegal, daerah Cangkup di desa Panongan (Sedong), gunung Canggak desa Mundu Mesigit dan Gunung Sembung yang pada akhirnya sampai sekarang di namakan gunung Amparan Jati (Gunung Jati), disanalah beliau bertemu dengan Syekh Datul Kahfi yang berasal dari Kerajaan Persia. Beliau adalah seorang guru agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya julukan lainnya disebut juga Syekh Nur Jati. Kemudian Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Mas Rara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Kemudian Ki Danusela atau disebut juga Ki Gedheng Alang-Alang oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Mas Rara Santang mendapat gelar Hajah Syarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Mas Pakungwati. Setelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk membangun Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengangkat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Endang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Siliwangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon. “Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.” (bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah).
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkan suatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan sebutan Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, yaitu Tumenggung Sri Mangana atau Pangeran Walangsungsang untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Sunan Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I (pertama) dan menetap di Keraton Pakungwati yang kemudian disebut dengan Keraton Kasepuhan sekarang.
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Siliwangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden). Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Gambar 1.2 Keraton Kasepuhan Cirebon
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan tanggal 12 Shafar 887 Hijiriah atau tanggal 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.